Sunday, 12 January 2014

Makalah Ladang Berpindah

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
       Sejak dulu masyarakat di pedesaan menggunakan hutan sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan dan mudah didayagunakan,  salah satunya sebagai tempat dilakukannya kegiatan ladang berpindah. Sistem pertanian dengan cara ladang berpindah dapat menjadi salah satu bentuk sistem pertanian yang banyak diminati dari dulu hingga saat ini. Mereka membuka lahan baru ketika lahan tempat bercocok tanam dirasakan produksinya sudah mulai menurun. Saat tanah tersebut digunakan, tanaman dapat ditanami diatasnya hanya dalam waktu yang singkat sekitar 1-2 tahun. Setelah panen, tanah tersebut ditinggalkan agar semua komponen tanah tersebut kembali seperti semula.
       Hal yang menuntut mengapa masyarakat lebih suka untuk perladangan berpindah salah satunya adalah biaya yang dikeluarkan dari praktek ini relatif kecil, umumnya lahan dibuka hanya membutuhkan api. Material dari sisa pembakaran tetumbuhan pada areal ladang dapat dijadikan pupuk untuk menambah unsur hara tanah, ini berarti mereka dapat menghemat keuangan untuk pemberian pupuk. Namun kita juga harus mencermati bahwa tidak semua lapisan masyarat Indonesia melakukan praktek ladang berpindah secara semena-mena, masih banyak dalam pelaksanaan sistem pertanian ladang berpindah suku-suku di Indonesia memperhatikan aspek lingkungan dalam pengelolaan ladang berpindah salah satunya menurut Wibowo (2008), hampir 80% masyarakat adat (Indigenous Peoples) Dayak di Kalimantan mata pencahariannya berladang, berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak karena dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati.
       Beberapa ahli lingkungan telah mengindikasikan bantahan dengan mengatakan bahwa mereka hanya membakar sesuai kebutuhan dan kemampuan menguasai proses tersebut sebagai keahlian turun temurun, dan kepentingan mereka terhadap hutan sebagai sumber penghidupan utama mencegah mereka untuk membiarkan api membesar diluar kemampuan pengendalian dan merusak kawasan hutan (Junggle Rubber, 1999).
       Tapi yang menjadi bahasan pada makalah ini adalah kegiatan ladang berpindah yang dilakukan secara berlebihan hingga menyebabkan kerusakan serius terhadap hutan. Oleh karena penggunaan kawasan hutan yang berlangsung seperti ini, maka sangat mungkin untuk menyebabkan wilayah hutan / lingkungan banyak mengalami kerusakan.

B.  Permasalahan
           1.  Apa saja faktor yang menyebabkan petani melakukan ladang berpindah?
           2.  Apa saja dampak dari ladang berpindah?
           3.  Bagaimana upaya mengurangi sistem ladang berpindah?
           4.  Bagaimana upaya mengurangi dampak kegiatan ladang berpindah?
















BAB II
TEORI PENDUKUNG

A.  Pengertian Ladang
       Di bidang pertanian, kata Ladang mengacu pada umumnya ke area lahan tertutup atau sebaliknya dan digunakan untuk tujuan pertanian seperti: budidaya tanaman, penggunaan sebagai padang rumput atau, umumnya, sebuah kandang ternak, lahan buatan yang tersisa sebagai tanah kosong atau tanah subur (Sumber: http://id.wikipedia.org)
       Pertanian ladang adalah jenis usaha pertanian yang memanfaatkan lahan kering, artinya dalam pengolahan tidak memerlukan banyak air. Tanaman yang biasa diusahakan adalah padi dan beberapa jenis tanaman palawija. Pertanian ladang ada dua jenis berikut ini: (1) pertanian ladang berpindah, (2) pertanian ladang tetap (Sumber: http://krizi.wordpress.com)

B.  Pengertian Ladang Berpindah
     Perladangan berpindah (shifting cultivation), merupakan salah satu corak usahatani primitif di mana hutan ditebang-bakar kemudian ditanami tanpa melalui proses pengolahan tanah. Corak usahatani ini umumnya muncul wilayah-wilayah yang memiliki kawasan hutan cukup luas di daerah tropik. Sistem perladangan berpindah dilakukan sebelum orang mengenal cara mengolah tanah (Sumber: http://tatiek.lecture.ub.ac.id).
     Jenis usaha pertanian ini dilakukan oleh para petani perambah hutan, dimana mereka membuat lahan pertanian ladang dengan cara membuka hutan lalu membakar kayu-kayuan, kemudian ditanami dengan tanaman hurma dan palawija. Setelah lahan garapannya dirasakan tidak subur lagi, maka mereka berpindah tempat untuk mencari dan membuka lahan hutan yang baru (Sumber :http://krizi.wordpress.com).
     Ladang berpindah adalah suatu kegiatan pertanian yang dilakukan di banyak lahan hasil pembukaan hutan atau semak dimana setelah beberapa kali panen / ditanami, maka tanah sudah tidak subur sehingga perlu pindah ke lahan lain yang subur atau lahan yang sudah lama tidak digarap. Pada dasarnya ladang berpindah terdiri atas membuka sebidang hutan, dan menanami lahan hutan yang telah dibuka ini selama satu atau tiga tahun. Kemudian lahan itu ditinggalkan dan membuka lahan hutan baru di tempat lain, dst. Setelah lahan dibuka, sebagian lahan digunakan untuk melindunginya dari hewan, misalnya babi hutan. Kayu yang tidak dipakai, ranting, dan daun setelah kering dibakar. Pembakaran ini membebaskan mineral yang terkandung di dalam bahan organic tumbuh-tumbuhan. Mineral dalam abu inilah yang menjadi sumber hara tanaman. Jenis tanaman yang bisa ditanam pada areal ini ditentukan oleh faktor iklim, tanah dan tradisi. Adapun jenis tanaman yang bisa ditanam antara lain seperti padi gogo, ubi jalar, talas, jagung, singkong, dan tebu (Soemarwoto, 2004).
     Sistem pertanian ladang memiliki karakter khusus, yaitu menggarap lahan pertanian secara berpindah-pindah di lahan hutan. Para peladang, menebang hutan untuk ditanami tanaman padi dan tanaman lainnya secara singkat 1-3 tahun, lalu lahan itu diistirahatkan atau diberakan dengan waktu cukup panjang, mulai 3 tahun sampai puluhan tahun. Pada saat lahan diberakan (diistirahatkan), berlangsung proses suksesi alami menuju terbentuknya hutan sekunder. Hutan sekunder tersebut dapat dibuka kembali sebagai ladang, dan dengan demikian daur pemanfaatan lahan untuk pertanian dimulai kembali. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila masa bera berlangsung cukup lama, struktur dan komposisi hutan sekunder tersebut akan mendekati struktur dan komposisi hutan primer. Namun ada juga data yang menunjukkan bahwa jumlah total biomasa dari hutan sekunder membutuhkan waktu beratus-ratus tahun untuk mencapai tingkat yang setara dengan hutan primer setelah ketersediaan kadar nutrien berkurang secara signifikan dan siklus nutrisi serta mekanisme konservasi diganggu oleh siklus berulang dari sistem perladangan berpindah (Juo dan Manu, 1996). Perladangan berpindah mempunyai bermacam-macam variasi. Jadi dapat dikatakan bahwa sistem perladangan ini ‘sejalan’ dengan konsep suksesi dimana terjadi proses perubahan komunitas secara bertahap pada lahan bekas ladang menuju suatu sistem yang stabil. Sistem yang stabil di sini dapat dianalogikan dengan hutan primer atau hutan tua.

C.  Tahap-tahap Kegiatan Ladang Berpindah
     Secara umum tahap kegiatan ladang berpindah dimulai dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Survei kesuburan tanah untuk menentukan lahan hutan yang tepat untuk dilakukan perladangan.  Biasanya indikator kesuburan tanah yang umum dipakai adalah jenis tumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah.
b.      Penebasan tumbuhan bawah untuk mempercepat proses pengeringan serasah.
c.       Penebangan pohon.
d.      Proses pengeringan lahan kurang lebih 3 – 4 minggu.
e.       Pembakaran dan pembersihan.
f.       Penanaman dan pemeliharaan, dan 
g.      Panen hasil.

D.  Siklus Ladang Berpindah
            Siklus dari sistem perladangan berpindah adalah sebagai berikut (Fox, 2000) dan disajikan dalam Gambar di bawah ini.
Siklus Ladang Berpindah (Fox, 2000)
(http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/thesis/TD0155-09.PDF/
Tanggal 12 Januari 2014)
       Sistem perladangan berpindah dimulai dengan melakukan penebangan di kawasan hutan kemudian pada musim kemarau lahan dibakar dengan tujuan untuk pembersihan lahan (1). Ketika musim hujan, lahan mulai ditanami dengan tanaman semusim hingga dua kali musim tanam (2)  dan setelah itu lahan diberakan hingga waktu yang tak ditentukan (3). Pada saat diberakan, lahan ditumbuhi oleh semak belukar yang akan membentuk hutan sekunder (4) dan dalam waktu yang sangat lama akan kembali membentuk hutan primer (5). Seiring berjalannya waktu, petani akan mengelola ladang yang telah dimiliki sebelumnya dengan menggunakan cara tebang bakar kembali (6). Pengelolaan ladang lanjutan tersebut merupakan suatu lanjutan dari sistem perladang berpindah yang mengubah fungsi lahan yang diberakan menjadi bentuk tutupan lahan lainnya.

BAB III
PEMBAHASAN

A.  Faktor Penyebab Petani Melakukan Ladang Berpindah
       Bentuk pemanfaatan lahan sangat bergantung kepada keputusan petani dengan berbagai faktor yang mendasarinya (Fox, 2000). Dari analisis terhadap pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga yang telah diteliti oleh Lubis (1997), secara garis besar ditemukan paling sedikit ada empat faktor yang mendasari keputusan petani dalam pengelolaan lahan hutan. Keempat jenis faktor itu adalah sebagai berikut:
                1.  Faktor ekonomis
                        Pengaruh ekonomis  mencakup variabel-variabel ekonomi, seperti fluktuasi harga, akses pasar, modal (material, tenaga kerja dan waktu), dan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Contohnya terbatasnya modal usaha dari peladang dan hal ini merupakan kendala utama untuk dapat mempraktekan model bercocok tanam lain yang dapat menjamin kelestarian ekosistem.  Misalnya model pertanian menetap dalam kenyataan banyak membutuhkan  tenaga, biaya dan waktu.  Selain itu pertanian model agroforestry juga masih tetap membutuhkan biaya, karena penanaman tanaman pertanian masih harus dilakukan secara berlanjut pada lahan usaha sampai tajuk pohon-pohon hampir saling bersentuhan. 
                        Tetapi pada sistem perladangan berpindah, modal yang dibutuhkan hanya untuk biaya konsumsi bagi mereka yang terlibat dalam membantu pekerjaan (sistem gotong royong atau masohi).  Namun demikian ada juga peladang yang memiliki kemampuan untuk bekerja tanpa bantuan, sehingga tidak membutuhkan biaya.

                2.  Faktor ekologis
                        Pengaruh ekologis meliputi  kualitas tanah, topografi lahan, dan perilaku tanaman. Seperti masyarakat dayak di Kalimantan umumnya melakukan sistem ladang berpindah untuk mengelola hutan karena tanah Kalimantan miskin mineral, dimana fosfor menjadi faktor pembatas bagi budidaya tanaman pangan.  Di hutan tropis, fosfor tersimpan dalam pohon sehingga perlu pembakaran hutan untuk melepaskannya.  Hara yang terlepas dimanfaatkan untuk penanaman padi gogo, setelah itu dilakukan lagi pembukaan lahan baru dengan cara yang sama sedangkan ladang lama yang ditinggalkan akan menjadi hutan kembali, sekitar 20-25 tahun ( Sumber: http://lanskapbudaya.blogspot.com).

                3.  Faktor sosial
Pengaruh sosial meliputi status sosial dan hubungan-hubungan sosial. Terbatasnya pengetahuan dari peladang. Mayoritas peladang khususnya di Indonesia berpendidikan SD dan SMP.  Namun demikian terdapat juga yang berpendidikan SMA, terutama  bagi mereka yang sulit untuk mendapat pekerjaan di kota. Kenyataan menunjukan bahwa walaupun ada juga peladang yang berpendidikan SMA, tetapi sistem dan teknik berladang mereka tetap sama karena memang kurikulum di SMA tidak diajarkan tentang teknik-teknik bercocok tanam yang baik.  Berdasarkan pantauan lapangan menunjukan bahwa teknik pembersihan ladang hanya dengan cara membakar, kemudian tidak melakukan pengolahan tanah untuk penanaman dan tidak menguasai teknik seleksi bibit yang baik agar produksi dapat meningkat.

                4.  Faktor kultural.
Pengaruh kultural mencakup pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang terkait dalam pengelolaan lahan hutan. Seperti suku dayak di Kalimantan, berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati, adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak (Sumber: http://staff.blog.ui.ac.id).

B.  Dampak Ladang Berpindah
       Realitas memang menunjukan bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi yang kuat dengan kerusakan ekosistem hutan, terutama pada pulau-pulau kecil dampaknya sangat signifikan. Beberapa dampak yang dapat dikemukakan adalah :

                1.  Dampak Fisik
a.    Terjadi penurunan drastis kesuburan tanah. Kondisi di lapangan menunjukan bahwa bekas-bekas areal berladang telah menjadi semak belukar ataupun padang alang-alang. Pada pulau-pulau kecil dengan kondisi ekosistem yang miskin vegetasi atau lahannya terbuka maka ketika musim hujan,  banyak lapisan tanah permukaan yang terkikis dan hanyut, sehingga kondisi kesuburan tanah menjadi menurun. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi kesuburan tanah secara umum pada daerah-daerah terbuka berbeda 40 – 60 % terhadap lahan hutan primer.

                2.  Dampak lingkungan
a.    Terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Banyak hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa hampir 100 % sungai yang terdapat pada pulau-pulau kecil mengalami penurunan debit air yang drastis, bahkan pada musim panas banyak sungai mengalami kekeringan.  Selain itu pada musim hujan, selalu terjadi banjir dan erosi  yang mampu mengikis dan mengangkut ribuan ton tanah permukaan ke sungai dan laut sehingga terjadi pendangkalan sungai dan gangguan ekosistem laut.
b.    Terjadi perubahan iklim dan yang paling drastis adalah kondisi iklim mikro dimana suhu meningkat rata-rata sebesar 1 – 3 oC dengan penurunan kelembaban relatif sebesar 5 – 10 %.  Selain itu dari  aspek iklim makro telah terjadi perubahan pola musim, dimana musim hujan dan musim panas sudah tidak konstan sesuai kalender musimnya.
c.    Terjadi gangguan habitat satwa, dimana lebih disebabkan oleh perubahan kondisi vegetasi sebagai akibat perladangan berpindah dan hal ini berpengaruh signifikan terhadap habitat satwa. Akibatnya ekosistem hutan yang sebelumnya merupakan tempat makan, minum, bermain dan tidur menjadi terganggu, sehingga satwa cendrung bermigrasi ke tempat lain, ataupun memilih tetap bertahan dengan kondisi cover yang terganggu.
d.   Terjadi penurunan biodiversitas, yang secara umum disebabkan perladangan yang dilakukan dengan cara tebang habis dan bakar sehingga banyak spesies langka atau endemik juga ikut musnah.  Menurut pendekatan Indeks Shannon-Wienner  menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai keragaman spesies pohon sebesar 10 %  dibandingkan hutan primer yang berada disekitar lokasi penebangan.  Hal ini disebabkan beberapa spesies pohon toleran (kurang butuh cahaya) cenderung menghilang dari habitatnya sebagai akibat meningkatnya  intensitas cahaya.
e.    Terjadi peningkatan luas lahan Imperata cylindrica karena pembukaan hutan untuk aktivitas perladangan. Perladangan berpindah biasanya dengan menggunakan masa istirahat  lahan (masa bera) 10 – 20 tahun. Artinya selama periode waktu 10 – 20 tahun, lahan tersebut akan ditinggalkan dan dibiarkan membentuk hutan sekunder (Aong). Aong biasa didominasi oleh vegetasi berupa Macaranga spp dan terdapat juga beberapa spesies asli dari hutan yang dibuka pada awalnya. Setelah masa bera tersebut maka lahan yang sama akan dibuka kembali untuk berladang pada periode ke II.  Setelah periode ke II,  hutan sekunder (Aong) mulai sulit untuk terbentuk karena lahan mulai didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica) sehingga secara umum jika sistem  pengulangan ini dilakukan sampai pada periode ke III biasanya lahan sudah didominasi alang-alang.

C.  Upaya Mengurangi Sistem Ladang Berpindah
            Mengatasi berbagai dampak yang dikemukakan, maka berikut direkomendasikan beberapa langkah pengendalian, yaitu :
                1.  Harus ada  kemauan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menangani permasalahan laju perladangan berpindah terlebih dahulu, agar dapat disusun perencanaan yang tepat dan terarah dalam rangka penanggulangannya. Karena apapun juga pemerintah telah diperhadapkan dengan realitas kondisi bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi kuat dengan kerusakan ekosistem.

                2.  Diperlukan regulasi berupa  peraturan daerah yang dapat mengatur  tentang pelaksanaan dan pengendalian laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini sangat penting agar para peladang dapat memahami secara jelas tentang batasan-batasan  dan prosedur praktek perladangan yang menjamin kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari adanya peraturan daerah berarti akan diatur pula sanksi-sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek perladangan dapat dilakukan secara terkontrol,
                3.  Pengembangan model agroforestry. Menurut teori bahwa perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model  utama, yaitu pengalihan profesi peladang, pengembangan model pertanian menetap dan  model agroforestry.  Berdasarkan ke 3 model ini, bila dikaji lebih jauh ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak  berhasil karena persoalan  budaya.  Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang mereka.  Selain itu pertanian menetap juga sulit untuk diterapkan karena membutuhkan modal (input) yang besar bagi penerapannya.  Sementara itu model agroforestry nampaknya mudah dan sederhana untuk diaplikasi karena membutuhkan hanya sedikit modal, tetapi hutan yang akan terbentuk nanti selama masa bera adalah hutan yang  nanti memiliki nilai ekonomi dan konservasi yang tinggi.

                4.  Diperlukan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung aplikasi ke 3 model utama pengendalian perladangan diatas. Untuk itu pendidikan, training dan latihan bagi peladang untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan sangat dibutuhkan bagi kerberhasilan pelaksanaan dari model yang ditawarkan nanti.
Perladangan berpindah dalam realitas telah menyebabkan kerusakan ekosistem hutan secara serius.  Hal ini berdasarkan kondisi di lapangan  bahwa  wilayah-wilayah hutan yang sebelumnya berada disekitar desa, saat ini  letaknya sudah mencapai radius lebih  7 Km. Bahkan pada pulau-pulau kecil tertentu, sudah tidak dijumpai hutan.
            Kebanyakan hutan hanya dijumpai dalam bentuk spot-spot hutan sekunder. Karena itu pemerintah pusat maupun daerah sudah seharusnya mulai mengambil langkah-langkah pengendalian, agar generasi ini tidak mewarisi lahan yang tandus bagi generasi akan datang.

D.  Upaya Mengurangi Dampak Kegiatan Ladang Berpindah
       Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian modern.  Arsjad (1989) mendefenisikan pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman (Sumber: http://borneojarjua2008.wordpress.com). Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma.  Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. 
       Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah.   Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi.  Cara mengurangi dampak perladangan berpindah dengan :
                          1.  Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman.  Penanaman dilakukan dengan tugal
                          2.  Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
                          3.  Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng.  Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.




BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
            Ladang berpindah merupakan sebuah bentuk dari sistem pertanian yang. Faktor penyebab ladang berpindah: (1) faktor ekonomis  mencakup harga, akses pasar, modal dan kebutuhan ekonomi rumah tangga, (2) faktor ekologis meliputi  kualitas tanah, topografi lahan, dan perilaku tanaman, (3) faktor sosial meliputi status sosial dan hubungan-hubungan sosial, dan (4)  faktor kultural mencakup pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang terkait dalam pengelolaan lahan hutan.Akibat perladangan berpindah yaitu : terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau; terjadi penurunan drastis kesuburan tanah; terjadi perubahan iklim mikro dan makro; terjadi gangguan habitat satwa; terjadi penurunan biodiversitas; dan terjadi peningkatan luas lahan Imperata cylindrical. Selanjutnya upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju perladangan berpindah adalah peraturan yang terstrukur yang dimulai dari pemerintah pusat, lalu menurun kedaerah-daerah, kemudian pengembangan model perladangan agroforestry, dan peningkatan kualitas SDM. Lalu usaha untuk mengurangi dampak dari ladang berpindah dapat dilakukan dengan metode tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimal, dan pengolahan tanah menurut kontur.
B.  SARAN
                1.  Menyadari banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini, penulis menyarankan agar pembaca dapat mencari referensi dari sumber lainnya yang berkait dengan materi ini.
                2.  Setelah mengetahui dampak negatif dari ladang berpindah, hendaknya pembaca dapat melakukan tindakan yang intinya berupaya pada penyelamatan ekologi hutan itu sendiri.






DAFTAR PUSTAKA
Arif. 2008. Hutan: Darah dan Jiwa Dayak. 2 September 2008. http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/09/02/hutan-darah-dan-jiwa-dayak. 12 Januari 2014.Colfer, C.J.P. 1997. Beyond Slash and Burn, Building on Indigenous Management of Borneo’s Tropical Rain Forest. The New York Botanical Garden. New York.
Benjamine, HE. 2009. Perladangan Berpindah: Bentuk Pertanian Konservasi Pada Wilayah Tropis Basah.2 Mei 2009. borneojarjua2008.wordpress.com/2009/05/28/ perladangan-berpindah-bentuk-pertanian-konservasi-pada-wilayah-tropis-basah. 12 Januari 2014.
Fox, J.M., 2000. How Blaming ‘Slash and Burn’ Farmers is Deforestating Mainland Southeast Asia. Analysis from The East-West Center 47. pp:1-7.
Godam64. 2009. Definisi/Pengertian Pertanian, Bentuk & Hasil Pertanian Petani - Ilmu Geografi. 2 April 2009. www.organisasi.org/1970/01/definisi-pengertian-pertanian-bentuk-hasil-pertanian-petani-ilmu-geografi.html. 24 Oktober 2013.
Juo, ASR & Manu, A. 1996. Agriculture, Ecosystems, and Environment : Chemical Dinamic in Slash and Burn Agriculture. 58: 49-60.
Koerniati, Tatiek. “Pengantar Ekonomi Pertanian”. 11 November 2011.. http://tatiek.lecture.
            ub.ac.id/ilmu-amaliah/pengantar-ilmu-ekonomi-pertanian. 11 Januari 2014.
Lubis, Z. 1997. Repong Damar: Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat. Working Paper 20. Centre for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Nigsih, Harti. 2009. Struktur Komunitas Pohon Pada Tipe Lahan Yang Dominan Pada Desa Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi. Skripsi. Institut Teknologi Bandung.
Santoso, Urip. Dampak Perladangan Berpindah Bagi Kerusakan Ekosistem Hutan. http://uripsantoso.wordpress.com/2010/10/13/dampak-perladangan-berpindah-bagi-kerusakan-ekosistem-hutan/#more-1980. 21 Oktober 2013.
Sita, Debi. Perlindungan Hutan. 1 Maret 2013. http://sleepingtrees.blogspot.com/2013/03/
            dampak-perladangan-pada-hutan-makalah.html. 12 Januari 2014.

Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Djambatan.

2 comments:

  1. Thx yaa...sgt membantu...
    ��

    ReplyDelete
  2. makasih yah sangat membantu, kalau bisa aku mau ngopi dan jadiin bahan referensi, tapi kok gak bisa tercopy sih

    ReplyDelete

Post Terbaru

Kumpulan Soal OSP Geografi

Semangat berprestasi menjadikan generasi muda Indonesia menjadi generasi yang memiliki daya saing. Untuk menularkan semangat tersebut, kali ...

Postingan Populer