BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak
dulu masyarakat di pedesaan menggunakan hutan sebagai sumber utama pemenuhan
kebutuhan dan mudah didayagunakan, salah
satunya sebagai tempat dilakukannya kegiatan ladang berpindah. Sistem pertanian
dengan cara ladang berpindah dapat menjadi salah satu bentuk sistem pertanian
yang banyak diminati dari dulu hingga saat ini. Mereka membuka lahan baru ketika
lahan tempat bercocok tanam dirasakan produksinya sudah mulai menurun. Saat
tanah tersebut digunakan, tanaman dapat ditanami diatasnya hanya dalam waktu
yang singkat sekitar 1-2 tahun. Setelah panen, tanah tersebut ditinggalkan agar
semua komponen tanah tersebut kembali seperti semula.
Hal
yang menuntut mengapa masyarakat lebih suka untuk perladangan berpindah salah
satunya adalah biaya yang dikeluarkan dari praktek ini relatif kecil, umumnya
lahan dibuka hanya membutuhkan api. Material dari sisa pembakaran tetumbuhan
pada areal ladang dapat dijadikan pupuk untuk menambah unsur hara tanah, ini
berarti mereka dapat menghemat keuangan untuk pemberian pupuk. Namun kita juga harus
mencermati bahwa tidak semua lapisan masyarat Indonesia melakukan praktek
ladang berpindah secara semena-mena, masih banyak dalam pelaksanaan sistem
pertanian ladang berpindah suku-suku di Indonesia memperhatikan aspek
lingkungan dalam pengelolaan ladang berpindah salah satunya menurut Wibowo (2008),
hampir 80% masyarakat adat (Indigenous Peoples) Dayak di Kalimantan mata
pencahariannya berladang, berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut
membentuk peradaban orang Dayak karena dari membuka lahan hingga akhir panen
ada aturan yang hatus ditaati.
Beberapa
ahli lingkungan telah mengindikasikan bantahan dengan mengatakan bahwa mereka
hanya membakar sesuai kebutuhan dan kemampuan menguasai proses tersebut sebagai
keahlian turun temurun, dan kepentingan mereka terhadap hutan sebagai sumber
penghidupan utama mencegah mereka untuk membiarkan api membesar diluar
kemampuan pengendalian dan merusak kawasan hutan (Junggle Rubber, 1999).
Tapi
yang menjadi bahasan pada makalah ini adalah kegiatan ladang berpindah yang
dilakukan secara berlebihan hingga menyebabkan kerusakan serius terhadap hutan.
Oleh karena penggunaan kawasan hutan yang berlangsung seperti ini, maka sangat
mungkin untuk menyebabkan wilayah hutan / lingkungan banyak mengalami
kerusakan.
B. Permasalahan
1. Apa saja
faktor yang menyebabkan petani melakukan ladang berpindah?
2. Apa saja
dampak dari ladang berpindah?
3. Bagaimana
upaya mengurangi sistem ladang berpindah?
4. Bagaimana
upaya mengurangi dampak kegiatan ladang berpindah?
BAB II
TEORI
PENDUKUNG
A. Pengertian
Ladang
Di
bidang pertanian, kata Ladang mengacu pada umumnya ke area lahan tertutup atau
sebaliknya dan digunakan untuk tujuan pertanian seperti: budidaya tanaman, penggunaan
sebagai padang rumput atau, umumnya, sebuah kandang ternak, lahan buatan yang
tersisa sebagai tanah kosong atau tanah subur (Sumber: http://id.wikipedia.org)
Pertanian
ladang adalah jenis usaha pertanian yang memanfaatkan lahan kering, artinya
dalam pengolahan tidak memerlukan banyak air. Tanaman yang biasa diusahakan
adalah padi dan beberapa jenis tanaman palawija. Pertanian ladang ada dua jenis
berikut ini: (1) pertanian ladang berpindah, (2) pertanian ladang tetap
(Sumber: http://krizi.wordpress.com)
B. Pengertian
Ladang Berpindah
Perladangan
berpindah (shifting cultivation), merupakan salah satu corak usahatani primitif
di mana hutan ditebang-bakar kemudian ditanami tanpa melalui proses pengolahan
tanah. Corak usahatani ini umumnya muncul wilayah-wilayah yang memiliki kawasan
hutan cukup luas di daerah tropik. Sistem perladangan berpindah dilakukan
sebelum orang mengenal cara mengolah tanah (Sumber:
http://tatiek.lecture.ub.ac.id).
Jenis
usaha pertanian ini dilakukan oleh para petani perambah hutan, dimana mereka
membuat lahan pertanian ladang dengan cara membuka hutan lalu membakar
kayu-kayuan, kemudian ditanami dengan tanaman hurma dan palawija. Setelah lahan
garapannya dirasakan tidak subur lagi, maka mereka berpindah tempat untuk
mencari dan membuka lahan hutan yang baru (Sumber :http://krizi.wordpress.com).
Ladang
berpindah adalah suatu kegiatan pertanian yang dilakukan di banyak lahan hasil
pembukaan hutan atau semak dimana setelah beberapa kali panen / ditanami, maka
tanah sudah tidak subur sehingga perlu pindah ke lahan lain yang subur atau
lahan yang sudah lama tidak digarap. Pada dasarnya ladang
berpindah terdiri atas membuka sebidang hutan, dan menanami lahan hutan yang
telah dibuka ini selama satu atau tiga tahun. Kemudian lahan itu ditinggalkan
dan membuka lahan hutan baru di tempat lain, dst. Setelah lahan dibuka,
sebagian lahan digunakan untuk melindunginya dari hewan, misalnya babi hutan.
Kayu yang tidak dipakai, ranting, dan daun setelah kering dibakar. Pembakaran
ini membebaskan mineral yang terkandung di dalam bahan organic tumbuh-tumbuhan.
Mineral dalam abu inilah yang menjadi sumber hara tanaman. Jenis tanaman yang
bisa ditanam pada areal ini ditentukan oleh faktor iklim, tanah dan tradisi.
Adapun jenis tanaman yang bisa ditanam antara lain seperti padi gogo, ubi jalar,
talas, jagung, singkong, dan tebu (Soemarwoto, 2004).
Sistem pertanian ladang memiliki karakter khusus, yaitu menggarap
lahan pertanian secara berpindah-pindah di lahan hutan. Para peladang, menebang
hutan untuk ditanami tanaman padi dan tanaman lainnya secara singkat 1-3 tahun,
lalu lahan itu diistirahatkan atau diberakan dengan waktu cukup panjang, mulai
3 tahun sampai puluhan tahun. Pada saat lahan diberakan (diistirahatkan),
berlangsung proses suksesi alami menuju terbentuknya hutan sekunder. Hutan
sekunder tersebut dapat dibuka kembali sebagai ladang, dan dengan demikian daur
pemanfaatan lahan untuk pertanian dimulai kembali. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa bila masa bera berlangsung cukup lama, struktur dan komposisi
hutan sekunder tersebut akan mendekati struktur dan komposisi hutan primer.
Namun ada juga data yang menunjukkan bahwa jumlah total biomasa dari hutan
sekunder membutuhkan waktu beratus-ratus tahun untuk mencapai tingkat yang
setara dengan hutan primer setelah ketersediaan kadar nutrien berkurang secara
signifikan dan siklus nutrisi serta mekanisme konservasi diganggu oleh siklus
berulang dari sistem perladangan berpindah (Juo dan Manu, 1996). Perladangan
berpindah mempunyai bermacam-macam variasi. Jadi dapat dikatakan bahwa sistem perladangan
ini ‘sejalan’ dengan konsep suksesi dimana terjadi proses perubahan komunitas
secara bertahap pada lahan bekas ladang menuju suatu sistem yang stabil. Sistem
yang stabil di sini dapat dianalogikan dengan hutan primer atau hutan tua.
C. Tahap-tahap
Kegiatan Ladang Berpindah
Secara
umum tahap kegiatan ladang berpindah dimulai dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Survei
kesuburan tanah untuk menentukan lahan hutan yang tepat untuk dilakukan
perladangan. Biasanya indikator
kesuburan tanah yang umum dipakai adalah jenis tumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme tanah.
b. Penebasan
tumbuhan bawah untuk mempercepat proses pengeringan serasah.
c. Penebangan
pohon.
d. Proses
pengeringan lahan kurang lebih 3 – 4 minggu.
e. Pembakaran
dan pembersihan.
f. Penanaman
dan pemeliharaan, dan
g. Panen
hasil.
D. Siklus
Ladang Berpindah
Siklus dari sistem
perladangan berpindah adalah sebagai berikut (Fox, 2000) dan disajikan dalam
Gambar di bawah ini.
Siklus Ladang Berpindah (Fox, 2000)
(http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/thesis/TD0155-09.PDF/
Tanggal 12 Januari 2014)
Sistem perladangan berpindah dimulai
dengan melakukan penebangan di kawasan hutan kemudian pada musim kemarau lahan
dibakar dengan tujuan untuk pembersihan lahan (1). Ketika musim hujan, lahan
mulai ditanami dengan tanaman semusim hingga dua kali musim tanam (2) dan setelah itu lahan diberakan hingga waktu
yang tak ditentukan (3). Pada saat diberakan, lahan ditumbuhi oleh semak
belukar yang akan membentuk hutan sekunder (4) dan dalam waktu yang sangat lama
akan kembali membentuk hutan primer (5). Seiring berjalannya waktu, petani akan
mengelola ladang yang telah dimiliki sebelumnya dengan menggunakan cara tebang
bakar kembali (6). Pengelolaan ladang lanjutan tersebut merupakan suatu
lanjutan dari sistem perladang berpindah yang mengubah fungsi lahan yang diberakan
menjadi bentuk tutupan lahan lainnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab
Petani Melakukan Ladang Berpindah
Bentuk
pemanfaatan lahan sangat bergantung kepada keputusan petani dengan berbagai
faktor yang mendasarinya (Fox, 2000). Dari analisis terhadap pengambilan
keputusan di tingkat rumah tangga yang telah diteliti oleh Lubis (1997), secara
garis besar ditemukan paling sedikit ada empat faktor yang mendasari keputusan
petani dalam pengelolaan lahan hutan. Keempat jenis faktor itu adalah sebagai
berikut:
1. Faktor
ekonomis
Pengaruh
ekonomis mencakup variabel-variabel
ekonomi, seperti fluktuasi harga, akses pasar, modal (material, tenaga kerja
dan waktu), dan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Contohnya terbatasnya modal
usaha dari peladang dan hal ini merupakan kendala utama untuk dapat mempraktekan
model bercocok tanam lain yang dapat menjamin kelestarian ekosistem. Misalnya model pertanian menetap dalam
kenyataan banyak membutuhkan tenaga,
biaya dan waktu. Selain itu pertanian
model agroforestry juga masih tetap
membutuhkan biaya, karena penanaman tanaman pertanian masih harus dilakukan
secara berlanjut pada lahan usaha sampai tajuk pohon-pohon hampir saling
bersentuhan.
Tetapi
pada sistem perladangan berpindah, modal yang dibutuhkan hanya untuk biaya
konsumsi bagi mereka yang terlibat dalam membantu pekerjaan (sistem gotong
royong atau masohi). Namun demikian ada
juga peladang yang memiliki kemampuan untuk bekerja tanpa bantuan, sehingga
tidak membutuhkan biaya.
2. Faktor
ekologis
Pengaruh
ekologis meliputi kualitas tanah,
topografi lahan, dan perilaku tanaman. Seperti masyarakat dayak di Kalimantan umumnya
melakukan sistem ladang berpindah untuk mengelola hutan karena tanah Kalimantan
miskin mineral, dimana fosfor menjadi faktor pembatas bagi budidaya tanaman
pangan. Di hutan tropis, fosfor
tersimpan dalam pohon sehingga perlu pembakaran hutan untuk melepaskannya. Hara yang terlepas dimanfaatkan untuk
penanaman padi gogo, setelah itu dilakukan lagi pembukaan lahan baru dengan
cara yang sama sedangkan ladang lama yang ditinggalkan akan menjadi hutan
kembali, sekitar 20-25 tahun ( Sumber: http://lanskapbudaya.blogspot.com).
3. Faktor
sosial
Pengaruh sosial meliputi status sosial dan hubungan-hubungan
sosial. Terbatasnya pengetahuan dari peladang. Mayoritas peladang khususnya di
Indonesia berpendidikan SD dan SMP.
Namun demikian terdapat juga yang berpendidikan SMA, terutama bagi mereka yang sulit untuk mendapat
pekerjaan di kota. Kenyataan menunjukan bahwa walaupun ada juga peladang yang
berpendidikan SMA, tetapi sistem dan teknik berladang mereka tetap sama karena
memang kurikulum di SMA tidak diajarkan tentang teknik-teknik bercocok tanam
yang baik. Berdasarkan pantauan lapangan
menunjukan bahwa teknik pembersihan ladang hanya dengan cara membakar, kemudian
tidak melakukan pengolahan tanah untuk penanaman dan tidak menguasai teknik
seleksi bibit yang baik agar produksi dapat meningkat.
4. Faktor
kultural.
Pengaruh kultural mencakup pengetahuan,
kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang terkait dalam pengelolaan lahan hutan. Seperti
suku dayak di Kalimantan, berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut
membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen
ada aturan yang hatus ditaati, adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak
(Sumber: http://staff.blog.ui.ac.id).
B. Dampak
Ladang Berpindah
Realitas
memang menunjukan bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi yang kuat
dengan kerusakan ekosistem hutan, terutama pada pulau-pulau kecil dampaknya
sangat signifikan. Beberapa dampak yang dapat dikemukakan adalah :
1. Dampak
Fisik
a. Terjadi
penurunan drastis kesuburan tanah. Kondisi di lapangan menunjukan bahwa
bekas-bekas areal berladang telah menjadi semak belukar ataupun padang
alang-alang. Pada pulau-pulau kecil dengan kondisi ekosistem yang miskin
vegetasi atau lahannya terbuka maka ketika musim hujan, banyak lapisan tanah permukaan yang terkikis
dan hanyut, sehingga kondisi kesuburan tanah menjadi menurun. Hasil penelitian
menunjukan bahwa kondisi kesuburan tanah secara umum pada daerah-daerah terbuka
berbeda 40 – 60 % terhadap lahan hutan primer.
2. Dampak
lingkungan
a. Terjadi
banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Banyak hasil
pengamatan di lapangan menunjukan bahwa hampir 100 % sungai yang terdapat pada
pulau-pulau kecil mengalami penurunan debit air yang drastis, bahkan pada musim
panas banyak sungai mengalami kekeringan.
Selain itu pada musim hujan, selalu terjadi banjir dan erosi yang mampu mengikis dan mengangkut ribuan ton
tanah permukaan ke sungai dan laut sehingga terjadi pendangkalan sungai dan
gangguan ekosistem laut.
b. Terjadi
perubahan iklim dan yang paling drastis adalah kondisi iklim mikro dimana suhu
meningkat rata-rata sebesar 1 – 3 oC dengan penurunan kelembaban
relatif sebesar 5 – 10 %. Selain itu
dari aspek iklim makro telah terjadi
perubahan pola musim, dimana musim hujan dan musim panas sudah tidak konstan
sesuai kalender musimnya.
c. Terjadi
gangguan habitat satwa, dimana lebih disebabkan oleh perubahan kondisi vegetasi
sebagai akibat perladangan berpindah dan hal ini berpengaruh signifikan
terhadap habitat satwa. Akibatnya ekosistem hutan yang sebelumnya merupakan
tempat makan, minum, bermain dan tidur menjadi terganggu, sehingga satwa
cendrung bermigrasi ke tempat lain, ataupun memilih tetap bertahan dengan
kondisi cover yang terganggu.
d. Terjadi
penurunan biodiversitas, yang secara umum disebabkan perladangan yang dilakukan
dengan cara tebang habis dan bakar sehingga banyak spesies langka atau endemik
juga ikut musnah. Menurut pendekatan
Indeks Shannon-Wienner menunjukkan bahwa
terjadi penurunan nilai keragaman spesies pohon sebesar 10 % dibandingkan hutan primer yang berada
disekitar lokasi penebangan. Hal ini
disebabkan beberapa spesies pohon toleran (kurang butuh cahaya) cenderung
menghilang dari habitatnya sebagai akibat meningkatnya intensitas cahaya.
e. Terjadi
peningkatan luas lahan Imperata
cylindrica karena pembukaan hutan untuk aktivitas perladangan. Perladangan
berpindah biasanya dengan menggunakan masa istirahat lahan (masa bera) 10 – 20 tahun. Artinya
selama periode waktu 10 – 20 tahun, lahan tersebut akan ditinggalkan dan
dibiarkan membentuk hutan sekunder (Aong). Aong biasa didominasi oleh vegetasi
berupa Macaranga spp dan terdapat juga beberapa spesies asli dari hutan yang
dibuka pada awalnya. Setelah masa bera tersebut maka lahan yang sama akan
dibuka kembali untuk berladang pada periode ke II. Setelah periode ke II, hutan sekunder (Aong) mulai sulit untuk
terbentuk karena lahan mulai didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica) sehingga secara umum jika sistem pengulangan ini dilakukan sampai pada periode
ke III biasanya lahan sudah didominasi alang-alang.
C. Upaya Mengurangi
Sistem Ladang Berpindah
Mengatasi
berbagai dampak yang dikemukakan, maka berikut direkomendasikan beberapa
langkah pengendalian, yaitu :
1. Harus
ada kemauan pemerintah baik pusat maupun
daerah untuk menangani permasalahan laju perladangan berpindah terlebih dahulu,
agar dapat disusun perencanaan yang tepat dan terarah dalam rangka
penanggulangannya. Karena apapun juga pemerintah telah diperhadapkan dengan
realitas kondisi bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi kuat dengan
kerusakan ekosistem.
2. Diperlukan
regulasi berupa peraturan daerah yang
dapat mengatur tentang pelaksanaan dan
pengendalian laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini sangat penting agar
para peladang dapat memahami secara jelas tentang batasan-batasan dan prosedur praktek perladangan yang
menjamin kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari adanya
peraturan daerah berarti akan diatur pula sanksi-sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek perladangan dapat
dilakukan secara terkontrol,
3. Pengembangan
model agroforestry. Menurut teori
bahwa perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model utama, yaitu pengalihan profesi peladang,
pengembangan model pertanian menetap dan
model agroforestry. Berdasarkan ke 3 model ini, bila dikaji lebih
jauh ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak berhasil karena persoalan budaya.
Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek
moyang mereka. Selain itu pertanian
menetap juga sulit untuk diterapkan karena membutuhkan modal (input) yang besar bagi
penerapannya. Sementara itu model
agroforestry nampaknya mudah dan sederhana untuk diaplikasi karena membutuhkan
hanya sedikit modal, tetapi hutan yang akan terbentuk nanti selama masa bera
adalah hutan yang nanti memiliki nilai
ekonomi dan konservasi yang tinggi.
4. Diperlukan
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung aplikasi ke 3 model
utama pengendalian perladangan diatas. Untuk itu pendidikan, training dan
latihan bagi peladang untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan sangat
dibutuhkan bagi kerberhasilan pelaksanaan dari model yang ditawarkan nanti.
Perladangan berpindah dalam realitas telah
menyebabkan kerusakan ekosistem hutan secara serius. Hal ini berdasarkan kondisi di lapangan bahwa
wilayah-wilayah hutan yang sebelumnya berada disekitar desa, saat
ini letaknya sudah mencapai radius
lebih 7 Km. Bahkan pada pulau-pulau
kecil tertentu, sudah tidak dijumpai hutan.
Kebanyakan
hutan hanya dijumpai dalam bentuk spot-spot hutan sekunder. Karena itu
pemerintah pusat maupun daerah sudah seharusnya mulai mengambil langkah-langkah
pengendalian, agar generasi ini tidak mewarisi lahan yang tandus bagi generasi
akan datang.
D. Upaya
Mengurangi Dampak Kegiatan Ladang Berpindah
Pengolahan
tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan
dalam pertanian modern. Arsjad (1989)
mendefenisikan pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah
yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman (Sumber: http://borneojarjua2008.wordpress.com). Tujuan
pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam,
menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan
memberantas gulma. Cara pengolahan tanah
sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena
penetrasi akar, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah
akan rusak.
Kebiasaan
petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih
permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi
seperti ini mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan, menyumbat
pori-pori tanah. Untuk mengatasi
pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah
konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara mengurangi dampak perladangan berpindah
dengan :
1. Tanpa
olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman
sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari
ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal
tanaman. Penanaman dilakukan dengan
tugal
2. Pengolahan
tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja
yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
3. Pengolahan
tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga
terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak
terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih
efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan
penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ladang berpindah merupakan sebuah
bentuk dari sistem pertanian yang. Faktor penyebab ladang berpindah: (1) faktor
ekonomis mencakup harga, akses pasar,
modal dan kebutuhan ekonomi rumah tangga, (2) faktor ekologis meliputi kualitas tanah, topografi lahan, dan perilaku
tanaman, (3) faktor sosial meliputi status sosial dan hubungan-hubungan sosial,
dan (4) faktor kultural mencakup pengetahuan,
kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang terkait dalam pengelolaan lahan hutan.Akibat
perladangan berpindah yaitu : terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan
pada musim kemarau; terjadi penurunan drastis kesuburan tanah; terjadi
perubahan iklim mikro dan makro; terjadi gangguan habitat satwa; terjadi
penurunan biodiversitas; dan terjadi peningkatan luas lahan Imperata cylindrical. Selanjutnya upaya
yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju perladangan berpindah adalah peraturan
yang terstrukur yang dimulai dari pemerintah pusat, lalu menurun
kedaerah-daerah, kemudian pengembangan model perladangan agroforestry, dan peningkatan kualitas SDM. Lalu usaha untuk
mengurangi dampak dari ladang berpindah dapat dilakukan dengan metode tanpa
olah tanah, pengolahan tanah minimal, dan pengolahan tanah menurut kontur.
B. SARAN
1. Menyadari
banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini, penulis menyarankan agar
pembaca dapat mencari referensi dari sumber lainnya yang berkait dengan materi
ini.
2. Setelah
mengetahui dampak negatif dari ladang berpindah, hendaknya pembaca dapat
melakukan tindakan yang intinya berupaya pada penyelamatan ekologi hutan itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arif. 2008. Hutan: Darah dan Jiwa Dayak. 2 September
2008. http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/09/02/hutan-darah-dan-jiwa-dayak.
12 Januari 2014.Colfer, C.J.P. 1997. Beyond
Slash and Burn, Building on Indigenous Management of Borneo’s Tropical Rain
Forest. The New York Botanical Garden. New York.
Benjamine, HE. 2009. Perladangan Berpindah: Bentuk Pertanian
Konservasi Pada Wilayah Tropis Basah.2 Mei 2009. borneojarjua2008.wordpress.com/2009/05/28/
perladangan-berpindah-bentuk-pertanian-konservasi-pada-wilayah-tropis-basah. 12
Januari 2014.
Fox, J.M., 2000. How
Blaming ‘Slash and Burn’ Farmers is Deforestating Mainland Southeast Asia.
Analysis from The East-West Center 47. pp:1-7.
Godam64. 2009. Definisi/Pengertian Pertanian, Bentuk
& Hasil Pertanian Petani - Ilmu Geografi. 2 April 2009. www.organisasi.org/1970/01/definisi-pengertian-pertanian-bentuk-hasil-pertanian-petani-ilmu-geografi.html.
24 Oktober 2013.
Juo, ASR & Manu, A. 1996. Agriculture, Ecosystems, and Environment : Chemical Dinamic in Slash and Burn Agriculture. 58: 49-60.
Koerniati, Tatiek. “Pengantar Ekonomi Pertanian”. 11 November 2011.. http://tatiek.lecture.
ub.ac.id/ilmu-amaliah/pengantar-ilmu-ekonomi-pertanian.
11 Januari 2014.
Lubis, Z. 1997. Repong Damar: Kajian tentang
Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung
Barat. Working Paper 20. Centre for International Forestry Research (CIFOR).
Bogor.
Nigsih, Harti. 2009. Struktur Komunitas Pohon
Pada Tipe Lahan Yang Dominan Pada Desa Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi. Skripsi. Institut Teknologi Bandung.
Santoso, Urip. Dampak Perladangan Berpindah Bagi
Kerusakan Ekosistem Hutan.
http://uripsantoso.wordpress.com/2010/10/13/dampak-perladangan-berpindah-bagi-kerusakan-ekosistem-hutan/#more-1980.
21 Oktober 2013.
Sita, Debi. Perlindungan Hutan. 1 Maret 2013. http://sleepingtrees.blogspot.com/2013/03/
dampak-perladangan-pada-hutan-makalah.html.
12 Januari 2014.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Djambatan.
Thx yaa...sgt membantu...
ReplyDelete��
makasih yah sangat membantu, kalau bisa aku mau ngopi dan jadiin bahan referensi, tapi kok gak bisa tercopy sih
ReplyDelete