1. Belajar.
Belajar dan
mengajar adalah dua proses yang mempunyai hubungan yang erat dalam dunia
pengajaran. Belajar dalam arti luas yaitu suatu proses perubahan tingkah laku
yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan penilaian terhadap atau
mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuandan kecakapan dasar yang terdapat
dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan
atau pengalaman yang teroganisir.
Proses dalam
arti adanya interaksi antara si individu dengan sesuatu sikap, nilai atau
kebiasaan, pengetahuan dan keterampilannya dalam hubungannya dengan dunianya sehingga ia berubah.
Perubahan yang
terjadi dapat berupa penambahan pengetahuan, penguasaan pengetahuan tersebut
dan penggunaan atau pengaplikasian ilmu yang didapat. Dalam hal ini, seseorang
akan sukar menerapkan ilmu yang didapatkannya untuk diaplikasikan bergantung
kepada faktor memilih. Memilih melakukan atau tidak melakukan.
Untuk
mempelajari perubahan jenis-jenis prilaku sesuai dengan tingkatannya tersebut
terdapat beberapa aliran psikologi, antaranya teori behaviorisme atau
koneksionisme dan teori organismik, gestalt, field atau teori kognitif.
Teori belajar
behaviorisme atau keneksionisme yaitu suatu teori yang menafsirkan perilaku
manusia sebagai hubungan antara perangsang (stimulus) dan jawaban (respons)
atau hubungan R-S. Suatu tindakan yang dilakukan oleh siswa merupakan respons
dari suatu perangsang yang diberikan melalui berbagai aspek pembelajaran, dapat
berupa bahasa lisan, tulisan, gambar, dan alat peraga lainnya.
Salah satu
contoh aplikasi teori ini yaitu teori pengajaran yang dipelajari oleh B.F.
Skinner. Konsep ini menekankan kepada respon para siswa secara perorangan
(individual learning).
Sedangkan
kelompok yang beraliran organismik, gestalt, field atau kognitif mempunyai
anggapan bahwa wawasan (insight), inteligensi dan kesanggupan bawaan atau
potensi merupakan hal-hal sangat dasar atau penting dalam prilaku manusia.
Titik persoalan pada penganut teori ini adalah bagaimana cara siswa belajar dan
bukan pada apa yang harus dipelajari oleh siswa.
Dua pakar
pendidikan yaitu Carpenter dan Edgar Dole mengemukakan betapa pentingnya alat
peraga dalam proses belajar siswa. Mereka mengemukakan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1)
Pentingnya pembinaan motivasi kepada para siswa
2)
Konsep yang relevan dengan pribadi siswa
3)
Proses penyajian dan alat peraga terpilih
4)
Pengorganisasian yang baik. Dalam arti pelajaran
disusun atau di organisir secara berarti dan sistematis bagi para siswa
5)
Memerlukan pertisipasi dan latihan
6)
Pengulangan dan variasi perangsang
7)
Pemecahan masalah (problem solving)
2. Pola
Dasar Mengajar
Terdapat
beberapa pengertian tentang mengajar. Tergantung kepada orang-orang yang
mengemukakannya. Sebagai contoh : 1)
Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan atau ilmu pengetahuan seorang guru
kepada murid-murid, 2) Mengajar ialah menamkan sikap dan nilai-nilai,
pengetahuan dan keterampilan dasar dari seseorang yang telah mengetahui dan
menguasainya kepada seseorang, 3) Mengajar adalah mengomunikasikan sesuatu
kepada seseorang supaya belajar berhasil.
Implikasi dari
defenisi itu diantaranya meliputi:
1)
Mengajar dapat berupa petunjuk, nasihat,
pemberitahuan, motivasi, tugas atau usaha tanpa paksaan,
2)
Mengkomunikasikan berarti membimbing anak,
teman, orang dewasa maupun diri sendiri,
3)
Mengajar terjadi di sekolah maupun di luar
sekolah,
4)
Belajar berhasil dalam arti suatu proses
perubahan perilaku yang berprestasi maksimal dalam suasana yang baik. Prestasi
itu dapat berupa penguasaan, penggunaan, penilaian tentang sikap dan
nilai-nilai.
Mengajar perlu
berteori, terdapat suatu pendirian bahwa mengajar itu telah terdapat pada manusia sejak ia
berbudaya sekalipun masih sangat primitif. Ini mempunyai implikasi bahwa pada
dasarnya manusia itu terutama yang sempat berkomunikasi adalah pengajar yang
mau tidak mau akan terkena oleh suatu teori maupun tidak, dengan menggunakan
teori yang kompleks ataupun yang sangat sederhana. Banyak sekali teori mengajar
sehingga dalam prakteknya terdapa perpaduan
teori-teori sehingga susah untuk menganut salah satu teori yang tunggal,
lebih-lebih situasi pengajaran itu sifatnya situasional.
Prof. Dr. J.
Noall mengemukakan bahwa siswa belajar lebih banyak pada suasana yang ribut
dari pada suasana yang sepi. Dari percobaan yang dilakukannya di Detroit
ditemukan implikasi bahwa suara gaduh yang diciptakan oleh guru telah
mengurangi jumlah listrik statis di udara dan pengurangan itu mendorong sel-sel
otak untuk bergiat atau dengan perkataan lain proses belajar lebih giat. Contoh
sederhananya ketika ulangan, mula-mula siswa tampak tenang-tenang saja
mengerjakan soal. Tetapi tatkala ada temannya yang mulai bangkit dari bangku,
disusul dengan suara gaduh. Bagi siswa yang belum selesai tampak konsentrasi
meningkat sehingga bila ada kawan yang bertanya kadang-kadang tidak terdengar,
ia sungguh-sungguh mengerjakan soal.
Pola mengajar
secara garis besar dikelompokkan menjadi 3 macam
a.
Pola Mengajar Tradisional (Pola Dasar Pokok)
Pada pola dasar ini tertera 4 komponen utama yaitu 1)
IO (Intructional Objectives), 2) EB (Entering Behaviour), 3) IP (Intructional
Prosedures), dan 4) PA (Performance Assesment). Awalnya keempat komponen
tersebut digunakan bertahap sesuai dengan nomor urutnya. Tetapi pada
perkembangannya terdapat feedback (umpan balik) dalam keempat komponen
penilaian itu.
b.
Pola (Model) Dasar Psikologis
Model ini terdiri dari 3 bentuk yaitu:
1)
Model mengajar komputer
Dikemukakan oleh Lawren Stolurow dan Daniel Davis
(1965). Pola dasar ini terdiri dari 2 bagian besar yaitu “preututorial phase”
dan “tutorial phase”.
Fase pretutorial mempunyai tujuan supaya siswa dapat
memilh program pengajaran untuk suatu tujuan intruksional tertentu.
Fase tutorial memiliki 2 tujuan tertentu, yaitu
menempatkan program pengajaran yang telah dipilih kedalam suatu program
penggunaan dan kedua memonitor perilaku yang baru berfaedah dan lebih tepat
guna dari pada program pengajaran sebelumnya.
2)
Model Belajar Sekolah
Dikemukakan oleh John Carroll (1962, 1963, 1965) yang
melukiskan komponen utama adalah waktu. Ia mengasumsikan bahwa untuk mencapai
tujuan instruksional akan memerlukan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas.
Berikut gambaran model belajar sekolah menurut Carroll
a)
Keadaan siswa sebelum belajar
·
Kemampuan siswa
·
Ketabahan siswa
·
Kesanggupan menerima dan memperkaya
b)
Prosedur pengajaran
·
Kesempatan mempelajari
·
Kualitas pengajaran
3)
Pola Dasar Interaksi atau Model Interaksi Sosial
Dikemukakan oleh Ned Flenders. Disebut interaksi
soSial dikarenakan adanya hubungan bergilir dalam pembicaraan antara guru dan
siswa secara direncanakan. Secara gambaran proses ini dapat kita lihat sebagai
berikut:
Guru berbicara
|
Pengaruh
tidak langsung
|
Menerima perasaan atau suasana siwa
|
Mendorong siswa untuk siap belajar
baik dengan lelucon lucu maupun dengan contoh
|
||
Pergunakan buah fikiran dan harapan
siswa
|
||
Bertanya kepada siswa tentang prosedur
atau isi yang diharapkan
|
||
Pengaruh
langsung
|
Menyajikan pelajaran
|
|
Member pengarhan kepada siswa
|
||
Mengadakan kritik, saran dan bimbingan
kepada siswa
|
||
Siswa
berbicara
|
Respon siswa terhadap pelajaran yang
dilakukan
|
|
Inisiatif siswa
|
||
Diam dan ragu
|
c.
Pola Dasar Historis
1)
Pola Socrates
Dikemukakan oleh James Jordan (1963) untuk
menggambarkan tekhnik Socrates. Ia mulai dengan tuntutan langsung untuk suatu
perumusan yang terdiri dari beberapa
konsep untuk kemudian dapat merumuskan salah satu yang paling dirasakan siswa
lebih tepat untuk sesuai dengan pendiriannya. Langkah pertama ini untuk
merumuskan tujuan instruksional. Langkah kedua, metode Socrates ini berbentuk
dialektis juga induktif, yang dimulai perumusan untuk kemudian dianalisa.
Menurut H. Broudy dan J. Palmer (1965) cara Socrates
ini merupakan psikoanalisa semacam “love theraphy”. Inilah yang ia namakan
dengan pendidikan yang mengadakan pembinaan dengan penuh rasa saying, dan
hormat kepada peserta didik.
Secara garis besar, pola Socrates ini tak jauh beda
dengan pola tradisional yang diselenggarakan dalam bentuk dialog yang pada
akhirnya diharapkan supaya siswa dapat
menemukan sendiri atau memecahkan persoalan sendiri.
2)
Pola Jesuit atau Model Muhanis Klasik
Broudy (1963) menggambarkan pola ini sebagai “Master
method” yang menekankan kepada penguasaan mengorganisasi bahan pelajaran,
metode lainnya sebagai suatu sistem yang diragam.
Sehubungan dengan pola ini, kurikulum merupakan
standard. Seleksi bakat sangat dipentingkan terlepas apakah anak-anak itu
beraal dari golongan kaya, miskin, dll. Pola ini sangat menekankan pula
prosedur mangajar yang baik menggunakan penilaian yang cermat sehingga para
siswa benar-benar memiliki kualitas tinggi.
3)
Pola Cermin atau Penyesuaian Hidup
Dicetuskan di Amerika tahun 1944 dengan maksud
membantu mengembangkan kecakapan para pemuda dalam penyesuaiannya dengan
kehidupan mereka terutama melatih ketrampilan untuk memperoleh pekerjaan dalam
kehidupan social.
Pola ini sebenarnya bersifat filosofis dari pada pola
mengajar. Hal ini tampak pada tujuan pendidikan yang sifatnya sangat umum
misalnya sika[, nilai-nilai dan perasaan-perasaan pribadi. Hal ini mendekati
belajar untuk kecakapan intelektual.
d.
Pola Dasar Umum
Daftar
pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979, Alat Peraga dan Komunikasi Pendidikan, PT
Bunda Karya : Jakarta.
No comments:
Post a Comment